Menggeluti Budaya Tanah Air

Ini cerpennya, nih! Kritik + saran lewat komentar, ya! Thank's :)

Menurut kalian, kuno gak sih mencintai budaya sendiri itu? Kalau iya, wah jawabanmu salah banget, lho! Harusnya kita bangga banget punya budaya tersendiri sebagai putra putri bangsa Indonesia. Nah, kali ini aku mau sharing pengalamanku sendiri saat aku belajar budaya tanah air. Mau tahu? Baca coretanku, ya!

“Tiara!” sapa dua gadis yang sebaya denganku. “Eh, Nisa dan Rista! Senang, deh bisa satu kelompok!” ujarku sambil mengambil posisi duduk. “Iya, kok kamu telat datang ke sini?” tanya Nisa. “Iya! Aku kesasar saat perjalanan ke sini, pokoknya ceritanya panjaang bangett!” jawabku. “Oke,” ujar mereka berdua.

“Nah, sekarang buat jiplakan polanya dulu. Sehabis itu, gunting polanya, sabar ya guntingnya! Nah, habis itu, buat jiplakan pola tangannya, digunting, lalu disambungkan dengan pola badannya memakai tali rafia, ini! Nanti Kak Putri ajarin caranya. Yang penting sudah membuat pola! Oiya, karena keterbatasan pola badan, jadi yang belum dapat, bisa membuat pola tangannya, dulu, ya!” terang panjang lebar Kak Putri yang sedang menjelaskan cara membuat wayang dari karton. Kami pun mengangguk tanda mengerti.

Kami sedang berada di Kampung Dolanan yang berada di daerah Dusun Pandes, Panggung Harjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Acara yang kami ikuti sangatlah berharga, dan nggak akan kulupa! Nah, acara yang aku ikuti itu, Reporter Cilik (Repcil)! Punya teman baru, dan ilmu baru! Wah, wah siapa yang akan menolaknya? Oke, acara ini dilakukan pada tanggal 15 November 2013! Oke, coz aku lanjutin pengalamanku itu.

Kami pun mulai membuatnya, agak  rumit, namun hati bahagia, lho! Semua sudah memulai kesibukannya sendiri, termasuk aku. Sibuk bertanya ke pada Kak Putri, dan juga sibuk membuat pola, menggunting, dan sebagainya! Nisa dan Rista, temanku pun juga tampak serius! Yah, terlihat dari mimik muka wajahnya, hehe.. Peace Nisa dan Rista!

Setelah lamanya sibuk, kami pun selesai membuatnya. “Nah, sudah pada selesai kan buat wayang kartonnya? Sekarang diwarnai, ya! Agar bagus dan cantik! Warna sesuai kreatifitas adik-adik, ya! Kakak yakin kok, adik-adik di sini pada kreatif semua,” ujar Kak Putri yang juga sibuk membetulkan wayang karton milik salah seorang temanku. Karena aku nggak pandai mewarnai, jadi, acak-adul deh warnanya! Duh, beginilah nasib seorang diriku yang tak pandai mewarnai, haha..

“Nah, sudah selesai, belum? Yang belum nanti dilanjutkan, ya! Kita sekarang mau apa, ya? Sudah, ikuti kakak saja!” ucap Kak Putri. Kami pun mengikuti langkah kaki Kak Putri. Kami pun sampai di rumah kecil berwarna biru tua. Entah apa yang dilakukan kami nanti.

Kami pun masuk ke rumah tersebut. Wah, begitu kagumnya aku. Seorang beliau yang umurnya sudah panjang, masih saja melesarikan budaya tanah air! Duh, bangganya aku! Karena, masih ada orang yang mau melestarikan budaya negara kita sendiri! Ayo, jangan kalah dari beliau! Hehe..

Oalah, kunjungan kami ke rumah beliau itu, mewawancarai beliau. Yuk, kita wawancarai beliau. 

“Namanya siapa, Mbah?” tanya seorang temanku, tapi memakai bahasa Jawa, ya! Karena di daerah tersebut, termasuk kawasan desa. Jadi, maklum ya kalau pakai bahasa Jawa! Bhineka Tunggal Ika! Berbeda-beda tetap satu!
“Mbah Buwang,” jawabnya dengan senyumannya itu.
“Umurnya berapa, Mbah?”
“64 Tahun,” jawabnya, seraya kami menulis laporan masing-masing.
“Mbah mengapa ingin menjadi pengrajin gamelan dan permainan tradisional ini?”
“Karena budaya ini sudah hampir punah. Generasi muda tidak bisa melanjutkannya, mereka sudah hampir tidak mengenal budaya lokal sendiri,” terangnya panjang lebar.
“Sejak umur berapa Mbah ingin melesarikan budaya lokal kita ini?”
“Sejak kecil saya ingin menjadi pengrajin,” jawabnya dengan senyumannya itu.
“Berapa hari membuat gamelan ini, Mbah? Berapa buah yang didapat selama seminggu?”
“Menghasilkan 100 buah dalam seminggu,” ujarnya.


Wah, hebat, ya! Sejak kecil sudah ingin menjadi pengrajin yang jasanya juga hebat! Membantu bangkitnya budaya lokal! Ah, teman-teman aku kagum, deh dengan beliau! Seorang kakek, yang dibantu anaknya menjadi pengrajin! Hebat, sekali!

Setelah mewawancarai beliau, kami kembali ke tempat kami di mana membuat wayang karton. Kami pun duduk melingkar. “Nah, sekarang kita buat mainan tradisional. Namanya Kitiran, Kakak pandu, ya!” terang Kak Putri yang akan menjelaskan cara membuat Kitiran. Cara membuatnya agak rumit, dan butuh kesabaran, lho! Tapi, senang deh, kitiran hasil karya kami bisa dibawa pulang sehingga bisa dimainkan! Seru benar pengalamanku, ini! Nah, enggak cuma keseruan membuat wayang dan kitiran yang aku ceritakan! Tapi, masih banyak banget pengalamanku ini! Coz, baca terus saja cerpen, ini! Dibalik kebahagiaan ini, ada kesedihanku juga, lho! Wah, sedih kenapa, tuh? Penasaran? Baca, dong cerpen aku sampai habis! Masih banyak keseruan aku dan teman-teman baruku saat menggeluti atau belajar budaya tanah air. 

Karena ini ajang Repcil, aku dan teman-teman Repcil akan menulis yang telah kami lakukan tadi. Nah, setelah selesai menulis, kami pun menghias celengan plastik. Setelah selesai, kami pun mengumpulkannya ke pada Kak Palupi. Lalu, tulisan kami dievaluasi oleh Kak Dipi dan Kak Iis.

Aku mendengarkan apa yang dibicarakan Kak Dipi ke padaku saat giliran tulisanku dievaluasi. Nah, ternyata tulisan evaluasi tadi itu, ditentukan yang terbaik, lho! Ternyata, aku belum bisa menang. Congrats buat temanku yang terbaik, Nisa! Eits, bukan inilah kekecewaanku yang sebenarnya! Penasaran? Baca! Hari pertama pun selesai dengan pengumumannya cerita terbaik.

Hari kedua, kami melaksanakannya di Tembi Rumah Budaya. Tepat berada di Jalan Parangtritis KM 8,4, Desa Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Yah, hari terakhir Repcil, bakalan kangen, deh masa-masa aku ikut turut kegiatan ini! Oiya, hari ini tulisan kita di nilai benar-benar, lho! Dan hadiahnya mengikuti grand final repcil di Jakarta, dan hadiah hiburan lainnya! Oke, petualangan dimulai! Mari kita cari harta karun ilmu budaya!

Nah, sebelum acara dimulai, kami diperbolehkan untuk jalan-jalan di tempat benda pusaka, lho! Dimulai dari bermacam-macam keris, barang antik, sepeda ontel, hingga wayang kulit yang memiliki sejarah yang hebat! Nanti aku ceritakan sejarah wayang, ya! Nah, kami pun juga melihat banyak sekali barang antik yang masih tersimpan dan dilestarikannya! Kagum, deh aku sama tempat penyimpanan barang antik, ini!

Nah, setelah puas-puasnya mencuci mata, kami pun kembali ke tempat rumah joglo. Tempat untuk kami berkumpul. Kegiatan pun dimulai. Sebagai perawal-mula acara, kami pun bermain-main! Seru, lho permainnannya! Perlu kerjasama kelompok, walau tidak satu sekolah, kami tetap kompak dan eksis! Duh, seru deh, pokoknya! Nah, setelah asyik bermain, biar fresh gitu, ya, hehe.. Aku dan kawan-kawan repcil mendengarkan penjelasan dari Kak Devi. Setelah itu, entah bapak siapa menyambut kami dengan ceria.

“Selamat pagi anak-anak!” sapa Bapak tersebut, pengurus Tembi Rumah Budaya ini.
“Pagi, Pak!” ucap kami serentak
“Wah, semangat semua, ya! Nama bapak adalah Pak Wandi. Saya akan menjelaskan semua yang ada di sini,” ucap bapak tersebut, yang ternyata bernama Pak Wandi. “Dulu, nama tempat ini bukanlah Tembi Rumah Budaya. Namanya dulu Lembaga Studi Jawa, namun pada tahun 2000 bergantilah nama tempat ini,” ujarnya.


“Bangunan ini dibangun pada tahun 1995, dan nama ruangannya diambil dari nama tempat-tempat atau kota-kota yang sudah pernah di kunjungi Pak Swantoro. Ia pemilik Tembi Rumah Budaya ini. Ada yang mau bertanya?” sambungnya lagi.

“Tujuan mendirikan tempat ini itu, apa sih, Pak?” tanya Kak Stella yang rupanya ingin tahu itu.
“Tujuannya ya, melestarikan budaya Indonesia. Karena, generasi muda sekarang ini sudah tidak tahu lagi yang namanya budaya lokal,” jawabnya.


Walah, walah.. Kita dibilang “sudah tidak tahu budaya lokal” aduh! Jangan, deh! Pokoknya kita nggak boleh kayak gitu! Berarti, kita harus melestarikan budaya kita, oke? JANGAN MAU dibilang seperti itu, ya! Boleh sih, suka K-Pop gitu, tapi JANGAN LUPA sama budaya sendiri! Kalau kata aku, NGGAK BANGET, DEH! Haha..

"Nah, bentuk tempat ini kan berupa rumah Joglo, ada yang tahu fungsinya tidak, ya?” tanya Pak Wandi ke pada kami semua. Wah, kalau aku, sih nggak tahu! Nah, coba apa fungsinya? Mari kita dengar jawaban Pak Wandi, kali ini.

“Wah, pada nggak tahu, ya? Fungsi rumah Joglo itu, untuk menerima tamu. O iya, pohon di sekitar sini itu bukan sembarang pohon seperti lainnya, lho!” ujar Pak Wandi. Aku pun heran apa yang diucapkan Pak Wandi. Apa maksud Pak Wandi? Pohon bukan sembarang pohon? Pertanyaan ini cukup membuatku bingung dan heran. Yeah, mari kita dengar kata-kata Pak Wandi selanjutnya!

“Maksudnya, di sini ada pohon berbuah yang bermakna. Jadi, setiap orang yang memakan buahnya, akan datang ke sini untuk hal baik, ya, seperti kalian ini, belajar! Dan masih banyak yang lainnya,” ujar Pak Wandi. Ohh.. Jadi itu maksudnya.. Understand?

Nah, setelah paham dari penjelasan dari Pak Wandi, kami pun berkumpul di tempat penuh wayang dan barang antik. Apa mungkin kita akan melihat pertunjukan wayang? Oke, lihat saja!

Tuh, benar! Kita akan menonton pertunjukan wayang. Sebelumnya, ada sedikit penjelasan dari pak pendalang. Yuk, kita simak! “Nama saya Mardiyono. Umur saya 64 tahun. Saya akan memperkenalkan tentang wayang terlebih dahulu,” ucap Pak Mardiyono, yang juga berperan dalam melestarikan budaya Kota Jogja ini.

“Zaman dulu, wayang terbuat dari daun. Namanya pun juga berbeda. Namanya adalah Bayang-Bayang. Kitab wayang dibedakan menjadi dua. Yang satu namanya Mahabarata dan yang satu lagi Ramayana,” sambung Pak Mardiyono. Nah, setelah dikenalkan banyak tokoh wayang, kami pun melihat pertunjukan wayang yang di lakukan oleh beliau. Kami pun asyik memoto Pak Mardiyono yang sedang melakukan aksinya mendalang.

Setelah melihat aksi beliau, kami dibagi tiga kelompok. Ada yang bermain karawitan, ada yang mendalang, lalu ada yang karawitan tapi di ruangan lain. Aku tergabung dalam kelompok tiga. Aku tidak mengenal semua anggota kelompokku, mungkin karena aku kurang menambah teman, hehe.. Kelompokku mendapat giliran bermain karawitan.

Nah, karena inilah aku mengenal teman baruku, Dhika. Nah, aku memegang alat pukul peking. Cara memainkannya cukup sulit-mudah, memukulnya harus dua kali dengan cepat. Yeah, harus fokus!

Setelah asyik bermain karawitan, kami berlanjut memainkan wayang kulit. Aku berpasangan dengan teman yang tak ku kenal. Setelah kami berkenalan, ialah seorang Nabila berhijab. Kami pun membuat dialognya dan memainkannya saat kami mendapat giliran dipanggil.

Setelah itu, ishoma. Before pray, aku dan teman satu sekolahku, yaitu Putri berhijab. Mau narsis-narsis dulu, nih! Pemandangan cukup bagus! Ada kolam dekat sawah nun sejuk! Kami pun bernarsis-ria. After pray, kami melihat aksi dalang cilik! Yaitu Ardhi, bocah kelas 6 SD. Keren, ya! Kecil-kecil jadi dalang! Nah, inilah saat kesedihanku! Aku harus berpisah dengan teman baruku. Ini pengalamanku, kalau kamu pengalaman yang mana? :)

Comments

  1. Waa kamu enak yaaa!! Aku ke Jogja ya cuma gitu gitu wae.. ke Bale Rasa, Taman Sari, Prambanan, Gembira Loka, Keraton.. itu lokasinya dimana? Yg ngomong namanya siapa, umur, dll itu krama ato kasar sih?? Ya pastilah krama masa ngomongnya umurmu piro XD Pake panjenengan atau gimana sih ngobrolnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe.. Aku tinggal di Joga, Tiara. Terus, aku jadi perwakilan sekolah ikut repcil. Itu kegiatannya tiga hari. Nulis pengalaman terus. Itu udah aku tulis lokasinya, hehe :D yang nanya ya? banyak yang nanya. Aku lupa, hehe... Aku tinggal di Jogja tapi aku nggak ngerti kayak gitu ._. iya, yang pasti gak pake itu XD itu kan buat sesama temen :3

      Delete

Post a Comment

Before leave a comment, please ensure your comment is supportive and spread positivity :)

Popular posts from this blog

Movie About Insecurity : Imperfect

Ramadhan Tiba!